Sejarah Warung Angkringan Atau HIK


Apa yang anda lakukan ketika merasa suntuk sekaligus lapar, jenuh dengan aktifitas sehari-hari dan ingin melepas penat tanpa merogoh kocek terlalu dalam? Jika anda berada di kota Jogja, entah itu kuliah atau bekerja, anda tentu sudah tidak asing dengan yang namanya “angkringan” bukan? Ya, angkringan bisa kita temukan di mana saja di sepanjang jalan yang ada di Jogja.

Kita juga bisa menemukannya di Solo dan Klaten, hanya saja namanya berbeda. Di Solo sebutannya “Hik”. Ada yang mengatakan itu kepanjangan dari “hidangan istimewa kampung”. Sedangkan angkringan berasal dari kata bahasa Jawa “angkring” yang artinya duduk santai, biasanya dengan melipat satu kaki ke kursi.

Yang jelas angkringan Jogja dan hik Solo tidak jauh berbeda ciri-cirinya. Malam ini Jogja cerah sekali cuacanya. Rembulan terlihat setengah lingkaran, seperti semangka keemasan melayang di langit malam yang hitam.  Ada yang belum pernah ngangkring? Waa..kurang akrab dengan jogja ya?

Sejarah Warung Angkringan
Angkringan adalah semacam warung makan yang berupa gerobag kayu yang ditutupi dengan kain terpal plastik dengan warna khas, biru atau oranye menyolok. Dengan kapasitas sekitar 8 orang pembeli, angkringan beroperasi mulai sore hari sampai dini hari. Namun kini ada juga yang mulai buka siang hari. Pada malam hari, angkringan mengandalkan penerangan tradisional senthir dibantu terangnya lampu jalan.

Warung HIK atau Angkringan

Di Angkringan pasti selalu ada menu makanan wajib yaitu Nasi (sego) kucing, ya sekilas kalau kita lihat nasi ini kecil memang pantas untuk ukuran kucing hehehe yang biasanya di bungkus dengan daun pisang. Isi lauk nasi kucing biasanya sambal tempe atau teri, atau telur dadar yang dipotong kecil2. Terus sate usus atau jeruan, ada juga sate telur puyuh. Dan untuk minumannya yaitu wedang jahe, mantep tenaan.kripik juga ada dan lain-lain. kembali ke Nasi kucing (dalam bahasa Jawa disebut “sega kucing“) bukanlah suatu menu tertentu, tetapi lebih pada cara penyajian nasi bungkus yang banyak ditemukan pada angkringan.

Dinamakan “nasi kucing” karena disajikan dalam porsi yang (sangat) sedikit, seperti menu untuk pakan kucing. Bagi kaum laki-laki mungkin bisa menghabiskan 3-5 bungkus. Saya saja yang perempuan, pernah menghabiskan 4 bungkus Hehehehe :D. Entah karena nasinya memang enak atau saya yang doyan makan, saya sendiri bingung. Minuman yang dijual pun beraneka macam seperti teh, es jeruk, kopi, wedang tape, wedang jahe, susu, atau campuran beberapa yang anda suka. Semua dijual dengan harga yang sangat terjangkau. Tapi sekarang kalau dirasa-rasa, harga hidangan angkringan ikut melambung gara-gara kenaikan harga BBM. Tetapi tetap saja angkringan banyak penggemar.

Mungkin hampir setiap 100 meteran, kita dapat menemukan angkringan. Bagaimana awalnya usaha ini bisa begitu menjamur di Jogja? Sebagai mahasiswa yang cukup hobi ngangkring, saya kerap mengobrol dengan pedagangnya setiap kali ngangkring.

Ternyata setiap kali saya tanya “Pak njenengan asline king pundi?”, jawabannya hampir selalu sama, “Kula king Klaten, Mbak”. Pedagang angkringan di Jalan Herman Yohanes tempat saya biasa membeli jasu (jahe susu) pernah saya tanya, “Wis suwe po Mas bukak angkringan?”, dan dia menjawab, “Lha wong mbahku wae bukak angkringan kok, Mbak”. Sebenarnya sejak kapan angkringan muncul di Jogja?

Sejarah angkringan di Jogja merupakan sebuah romantisme perjuangan menaklukan kemiskinan. Angkringan di Jogjakarta dipelopori oleh seorang pendatang dari Cawas, Klaten bernama Mbah Pairo pada tahun 1950-an. Cawas yang secara adminstratif termasuk wilayah Klaten Jawa Tengah merupakan daerah tandus terutama di musim kemarau. Tidak adanya lahan subur yang bisa diandalkan untuk menyambung hidup, membuat Mbah Pairo mengadu nasib ke kota. Ya, ke sini, ke Jogjakarta.

Mbah Pairo bisa disebut pionir angkringan di Jogjakarta. Usaha angkringan Mbah Pairo ini kemudian diwarisi oleh Lik Man, putra Mbah Pairo sekitar tahun 1969. Lik Man yang kini menempati sebelah utara Stasiun Tugu sempat beberapa kali berpindah lokasi. Seiring bergulirnya waktu, lambat laun bisnis ini kemudian menjamur hingga pada saat ini sangat mudah menemukan angkringan di setiap sudut Kota Jogja. Angkringan Lik Man pun konon menjadi yang paling dikenal di seluruh Jogja, bahkan di luar Jogja.

Berbeda dengan angkringan saat ini yang memakai gerobak, diawal kemunculannya angkringan menggunakan pikulan sebagai alat sekaligus center of interest. Bertempat di emplasemen Stasiun Tugu Mbah Pairo menggelar dagangannya. Pada masa Mbah Pairo berjualan, angkringan dikenal dengan sebutan ting-ting hik (baca: hek). Hal ini disebabkan karena penjualnya berteriak “Hiiik…iyeek” ketika menjajakan dagangan mereka. Istilah hik sering diartikan sebagai Hidangan Istimewa Kampung. Sebutan hik sendiri masih ditemui di Solo hingga saat ini, tetapi untuk di Jogja istilah angkringan lebih populer. Demikian sejarah angkringan di Jogjakarta bermula.

Boleh jadi angkringan merupakan stereotipe kaum marjinal berkantung cekak yang beranggotakan sebagian mahasiswa, tukang becak dan buruh maupun karyawan kelas bawah. Namun, peminat angkringan kini bukan lagi kaum marjinal yang sedang dilanda kesulitan keuangan saja, tetapi juga orang berduit yang bisa makan lebih mewah di restoran.

Dari semua angkringan yang pernah saya coba, saya jatuh cinta pada jadah bakar dan teh nasgitel (panas, legi, kentel) racikan Lik Man, angkringan legendaris Jogja. tidak jarang warung angkring Lik Man kedatangan orang-orang terkenal dari berbagai jenis pekerjaan. Djadug Feriyanto misalnya, kakak kandung Butet Kartaradjasa yang juga leader kelompok musik Sinten Remen ini pun jatuh cinta kepada angkringan Lik Man di Stasiun Tugu sana. Tidak hanya Djadug, beberapa sastrawan, budayawan, atau olahragawan ternama seperti Cak Nun (Emha Ainun Najib), Butet Kartaradjasa, Marwoto Kawer hingga Jammie Sandoval pemain PSIM asal Chilie pun sering meluangkan waktu malamnya untuk jajan di angkringan.

Menyenangkan sekali melepas kepenatan bersama teman atau orang lain yang baru ketemu disana, lalu ngobrol ngalor-ngidul, gojeg kere, main plesetan kata-kata, menggoda bencong lewat, sampai tertawa lepas melepaskan beban pikiran. Tak perlu minder dengan apa status anda, karena di angkringan semuanya adalah sama.

Dari berbagai sumber

About Prista Ayu
Mahasiswa yang baru belajar nGeblog, Ngeblog untuk sekedar sharing ilmu, pengalaman, dokumentasi hidup, dan mencari teman. Boleh hanya numpang lewat tapi kalau mau komentar akan saya beri ucapkan terima kasih plus backlink gratis karena Blog ini sudah Dofollow -:). Boleh ngasih saran, kritik, caci maki tapi kalau nyepam tak masukin penjara Akismet he he he he ….

22 Responses to Sejarah Warung Angkringan Atau HIK

  1. nandar @kandung woker says:

    sama halnya pekalongan. disini istilahnya ‘warung sehat’. tiap daerah punya makanan khas masing2.

  2. nandar @kandung woker says:

    warung2 di sini (pekalongan)ada yg dari gerobak, semi permanen, juga bangunan permanen. menjajakan makanan khas asli pekalongan “nasi (sego) megono, gorenganan tempe tahu itu sbg pelengkapnya. juga krupuk utk suasana yg lebih meriah. ditambah lagi variasi lauk seperti ikan pindang, ayam goreng, telur, kadang ada juga sate.minumannya juga menyehatkan seperti teh manis hangat, kopi, susu, dll, juga ada yg menyediakan wedang alang alang.jam bukanya juga bervariasi, ada yg khusus dari pagi sampai sore, ada yg dari sore sampai pagi, juga ada yg 24 jam non stop, (wah kapan istirahatnya tuh?}.silahkan datang dan selamatmencoba

  3. Astri says:

    Siipp.. Aku suka jg di angkringan..

  4. Pingback: Sejarah Asal Mula Nasi Kucing « Prista Fantasia

  5. Pingback: Sejarah Asal Mula Nasi Kucing | Phandoe.com

  6. Pingback: Sejarah Warung Angkringan (HIK) « Smart Thinking Point and Idea

  7. Pingback: Berita Gokil – Sejarah Asal Mula Nasi Kucing

  8. mamo says:

    kalo kata ibu saya, kata angkring itu artinya adalah ‘gerobak pikulan’ seperti yg di angkringan tugu itu.makanya kenapa ada juga soto angkring,dsb. bukan dari kata nangkring. CMIIW..

    • denbagus wijaya says:

      Sepakat bro.
      Kata Mbah kakungku juga demikian.
      Mantabs jadah bakar plus tes panas legi kental..

  9. wahh.. artikelnya josss bener… heheh.. ditunggu artikel-artikel yg lain mengenai angkringan nasi kucing.

    bagi rekan-rekan yang ingin memiliki usaha angkringan nasi kucing, silahkan kunjungi website kami di http://www.AngkringanNasiKucing78.com atau Hub : 085782660989 ( sms ), PIN BB : 21F3C098, Lokasi Bekasi timur.

    Terimakasih
    salam sukses & bahagia bersama

  10. angkringan says:

    jadi kangen ke jogja, tapi Jkt juga udah ada angkringan. makasih atas infonya. salam

  11. waaah. keren banget. yang lagi pengen ngangkring silahkan datang ke angkringan sigit jl. godean. dijamin yahud dan syahdu.

  12. Ekohm says:

    Ada juga yang pernah bercerita waktu saya makan di hik (di Solo) bahwa hik/angkirangan dulunya seorang pedagang makanan keliling bawa angkring. Dipikul keliling jalan. Melewati jalan-jalan desa. Dengan penerangan seadanya yaitu omprong, atau macam obor kek gitu.

    Ada juga yang bercerita, si penjual makanan itu menjajakan dagangannya sampai malam-malam sekali bahkan sampai pagi. Dalam keadaan seadanya, gelap. Berkeliling sendirian. Ada yang mengira ia menjual makanan untuk para hantu. Heheh.. Entahlah, mungkin karena malam-malam ia berdagang.

    Ah, saya kangen hik di Solo. Waktu bersama teman-teman memesan nasi kucing dan susu jahe. Heueheu..

    Salam

  13. Tihasjck says:

    Asalnya angkringan dari Cawas atau Bayat? sumber lain kok ada yg mengatakan dari Bayat, Klaten…

  14. sekarang yang di jakarta sudah mudah untuk ngangkring,,,

  15. naufan azim says:

    Asli klaten,dan sekali lagi asli klaten..tp bnyak orng dluar sana yg mnganggap klu “angkringan” itu produk asli jogja/solo..sedih sekaligus miris..love Klaten

  16. Pingback: Sejarah Asal Mula Nasi Kucing | APis Indonesia

  17. Pingback: Nasi Kucing | ExploreYogyakarta

  18. Pingback: Nasi Kucing - Hirispark Community

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.